SEBUAH artikel di harian Kompas, 32 tahun lalu, sangat menarik untuk disimak kembali. Artikel yang terbit pada 20 Oktober 1975 itu berjudul ”Pegawai Lebih Aman dari Pengusaha,” dan ditulis oleh R.J. Kaptin Adisumarta. Di sana, Adisumarta mengutip satu peribahasa Jerman: ”Arbeit adelt”. Artinya, bekerja itu menaikkan martabat kita.
Kalimat itu belum selesai. Adisumarta menambahkan, ”…hampir semua pegawai tidak puas oleh jumlah gajinya, oleh karenanya hampir semua pegawai sibuk menjadi pengusaha kecil-kecilan atau bekerja sampingan untuk menambah sarana hidupnya.”
Apa yang ditulis Adisumarta 30 tahun silam rasanya masih aktual hingga saat ini. Boleh jadi, kaum pegawai sekarang cenderung masih merasa lebih aman ketimbang kaum pengusaha. Sebab, kondisi ekonomi makro mutakhir memang bagaikan jet-coaster: penuh goncangan dan membuat jantung para pengusaha mudah dag-dig-dug.
Tapi, benarkah menjadi pegawai saat ini terbilang lebih aman dibandingkan menjadi pengusaha? Belum tentu juga. Sekarang ini, menjadi seorang pegawai belum tentu aman, tenteram, serta termanusiakan. Gaji yang diterima terkikis oleh inflasi. Kualitas kehidupan terkena imbas persaingan sesama yang kian mengglobal.
Seorang pegawai boleh saja mencoba memanusiakan dirinya di lingkungan tempat ia bekerja. Ia datang tepat waktu, bekerja penuh loyalitas, dan pulang ke rumah dengan harapan bisa melihat keceriaan keluarganya. Masalahnya, disiplin dalam bekerja kadang tak berarti apa-apa. Loyalitas pun kini diukur secara sempit. Keceriaan keluarga acap bukan ditentukan oleh kesuksesan dalam berkarir, melainkan lebih dilatari oleh kemampuan daya beli.
Dulu, kaum pegawai sering menganggap simpanan di Jamsostek sebagai simpanan yang tidak terlalu dipedulikan. Sekarang, keadaannya berbeda. Para pegawai itu mungkin merasa uang yang mereka simpan di Jamsostek kurang aman. Makanya mereka kini sering meminta kejelasan seputar iuran itu—baik langsung maupun tak langsung.
Anehnya, kaum pengusaha sekarang juga terlihat sama tidak amannya. Sedikit-sedikit, jika bila ada ketidakpuasan, mereka lantas meributkan kebijakan pemerintah—dari sudut pandang mereka sendiri, tentunya. Ada pula yang bersuara melalui perangkat asosiasi. Fenomena ini tak pernah dijumpai 30 tahun lalu. Lantas, ada pula pengusaha yang ikut berkiprah dalam dunia politik. Sangat berwarna-warni.
Dalam situasi yang kurang menguntungkan ini, ketika pegawai dan pengusaha sama-sama merasa riskan, tulisan Adisumarta tadi kembali mengingatkan kita: ”...hampir semua pegawai sibuk menjadi pengusaha kecil-kecilan....”
Dalam konteks saat ini, pegawai memang sebaiknya menjadi pengusaha kecil-kecilan. Bukan dengan mendirikan perusahaan dalam perusahaan, tentunya. Melainkan, dengan menggairahkan jiwa entrepreneurship-nya untuk merangsang tumbuhnya sifat inovatif yang dulu mungkin hanya dimiliki si pemilik perusahaan. Apalagi, kemampuan serta kompetensi pegawai sekarang—dibandingkan dengan 30 tahun silam—tentu sudah jauh berbeda.
Dengan sifat inovatif itulah seorang pegawai seharusnya berkarya dalam sebuah badan usaha. Lebih penting lagi bagi pegawai yang merupakan pemimpin perusahaan.
Sikap inovatif itu jelas tak muncul begitu saja. Ini perlu didahului oleh kerelaan sang pegawai yang menjadi pemimpin perusahaan untuk bersikap transparan. Ia harus menjelaskan dengan ikhlas bahwa inovasinya bukan siasat busuk. Selain itu, aspek fairness juga perlu diterapkan.
Pegawai yang menjadi pemimpin perusahaan juga perlu kreatif. Jerome Bruner, dalam Toward a Theory of Instruction, mendefinisikan kreativitas sebagai ”kejutan yang efektif”. Menyulap kerugian menjadi keuntungan, misalnya. Atau membuat proses kerja yang panjang menjadi lebih efektif.
Pegawai yang menjadi pemimpin perusahaan memang dituntut untuk terus berkarya dan berinovasi. Dengan begitu, mereka juga bisa menjadi teladan bagi pegawai lain yang menjadi bawahannya. Setiap pegawai seharusnya menjadi seorang inovator. Setiap pegawai yang menjadi pemimpin perusahaan—serta para pengusaha—harus pula ingat bahwa keuntungan yang mereka terima tak lain karena karya para pegawai bawahannya. Dengan demikian, pengusaha dan pegawai bisa sama-sama merasa aman dan sama-sama memberi rasa aman.
Lalu, bagaimana peran pemerintah? Jika meniru negara maju, yang konon perekonomiannya tumbuh karena ditopang oleh pengusaha kecil dan menengah, maka pemerintah perlu memberi dukungan regulasi dan infrastruktur yang dapat mengakselerasi pertumbuhan ekonomi tersebut. Tak terlalu rumit sebenarnya.…
Kalimat itu belum selesai. Adisumarta menambahkan, ”…hampir semua pegawai tidak puas oleh jumlah gajinya, oleh karenanya hampir semua pegawai sibuk menjadi pengusaha kecil-kecilan atau bekerja sampingan untuk menambah sarana hidupnya.”
Apa yang ditulis Adisumarta 30 tahun silam rasanya masih aktual hingga saat ini. Boleh jadi, kaum pegawai sekarang cenderung masih merasa lebih aman ketimbang kaum pengusaha. Sebab, kondisi ekonomi makro mutakhir memang bagaikan jet-coaster: penuh goncangan dan membuat jantung para pengusaha mudah dag-dig-dug.
Tapi, benarkah menjadi pegawai saat ini terbilang lebih aman dibandingkan menjadi pengusaha? Belum tentu juga. Sekarang ini, menjadi seorang pegawai belum tentu aman, tenteram, serta termanusiakan. Gaji yang diterima terkikis oleh inflasi. Kualitas kehidupan terkena imbas persaingan sesama yang kian mengglobal.
Seorang pegawai boleh saja mencoba memanusiakan dirinya di lingkungan tempat ia bekerja. Ia datang tepat waktu, bekerja penuh loyalitas, dan pulang ke rumah dengan harapan bisa melihat keceriaan keluarganya. Masalahnya, disiplin dalam bekerja kadang tak berarti apa-apa. Loyalitas pun kini diukur secara sempit. Keceriaan keluarga acap bukan ditentukan oleh kesuksesan dalam berkarir, melainkan lebih dilatari oleh kemampuan daya beli.
Dulu, kaum pegawai sering menganggap simpanan di Jamsostek sebagai simpanan yang tidak terlalu dipedulikan. Sekarang, keadaannya berbeda. Para pegawai itu mungkin merasa uang yang mereka simpan di Jamsostek kurang aman. Makanya mereka kini sering meminta kejelasan seputar iuran itu—baik langsung maupun tak langsung.
Anehnya, kaum pengusaha sekarang juga terlihat sama tidak amannya. Sedikit-sedikit, jika bila ada ketidakpuasan, mereka lantas meributkan kebijakan pemerintah—dari sudut pandang mereka sendiri, tentunya. Ada pula yang bersuara melalui perangkat asosiasi. Fenomena ini tak pernah dijumpai 30 tahun lalu. Lantas, ada pula pengusaha yang ikut berkiprah dalam dunia politik. Sangat berwarna-warni.
Dalam situasi yang kurang menguntungkan ini, ketika pegawai dan pengusaha sama-sama merasa riskan, tulisan Adisumarta tadi kembali mengingatkan kita: ”...hampir semua pegawai sibuk menjadi pengusaha kecil-kecilan....”
Dalam konteks saat ini, pegawai memang sebaiknya menjadi pengusaha kecil-kecilan. Bukan dengan mendirikan perusahaan dalam perusahaan, tentunya. Melainkan, dengan menggairahkan jiwa entrepreneurship-nya untuk merangsang tumbuhnya sifat inovatif yang dulu mungkin hanya dimiliki si pemilik perusahaan. Apalagi, kemampuan serta kompetensi pegawai sekarang—dibandingkan dengan 30 tahun silam—tentu sudah jauh berbeda.
Dengan sifat inovatif itulah seorang pegawai seharusnya berkarya dalam sebuah badan usaha. Lebih penting lagi bagi pegawai yang merupakan pemimpin perusahaan.
Sikap inovatif itu jelas tak muncul begitu saja. Ini perlu didahului oleh kerelaan sang pegawai yang menjadi pemimpin perusahaan untuk bersikap transparan. Ia harus menjelaskan dengan ikhlas bahwa inovasinya bukan siasat busuk. Selain itu, aspek fairness juga perlu diterapkan.
Pegawai yang menjadi pemimpin perusahaan juga perlu kreatif. Jerome Bruner, dalam Toward a Theory of Instruction, mendefinisikan kreativitas sebagai ”kejutan yang efektif”. Menyulap kerugian menjadi keuntungan, misalnya. Atau membuat proses kerja yang panjang menjadi lebih efektif.
Pegawai yang menjadi pemimpin perusahaan memang dituntut untuk terus berkarya dan berinovasi. Dengan begitu, mereka juga bisa menjadi teladan bagi pegawai lain yang menjadi bawahannya. Setiap pegawai seharusnya menjadi seorang inovator. Setiap pegawai yang menjadi pemimpin perusahaan—serta para pengusaha—harus pula ingat bahwa keuntungan yang mereka terima tak lain karena karya para pegawai bawahannya. Dengan demikian, pengusaha dan pegawai bisa sama-sama merasa aman dan sama-sama memberi rasa aman.
Lalu, bagaimana peran pemerintah? Jika meniru negara maju, yang konon perekonomiannya tumbuh karena ditopang oleh pengusaha kecil dan menengah, maka pemerintah perlu memberi dukungan regulasi dan infrastruktur yang dapat mengakselerasi pertumbuhan ekonomi tersebut. Tak terlalu rumit sebenarnya.…
IRWAN MAKDOERAH, Deputi Direktur Pengembangan PT RNI
www.majalahtrust.com
wes tak tinggalin pak,ph ya pak website nya da diupdate belum saya mau nyari tugas
BalasHapus