“Apa pekerjaan Anda?” demikian pertanyaan kenalan yang baru pertama kali saya jumpai di satu kesempatan. Biasanya, jawaban saya cukup “membingungkan”, bahkan ada satu sahabat baik saya yang sampai saat ini masih “sulit membayangkan apa sih tepatnya pekerjaan saya sehari-hari yang kelihatannya hampir tidak bekerja ini.”
Di depan laptop HP saya, biasanya saya hanya kelihatan sedang membalas e-mail atau mengetik saja. Di ruang keluarga, kelihatan saya hanya membaca buku-buku ringan dan kadang-kadang cukup lucu. Di dapur, kelihatannya saya hanya memasak saja. Di muka televisi, kelihatannya saya manggut-manggut saja ketika Oprah maupun Anderson Cooper membawakan pandangan mereka. Di akhir pekan, kelihatannya saya hanya menginap di salah satu hotel berbintang untuk “duduk mendengarkan orang lain berbicara.” Di lain kesempatan, saya hanya kelihatan seperti ngobrol dengan rekan-rekan yang mendengarkan dengan seksama. Lantas, apa sih pekerjaan saya?
Apakah kegiatan di atas adalah kegiatan ketika saya bekerja atau menikmati hidup? Jawaban saya: dua-duanya benar. Pada saat saya melakukan kegiatan di atas, biasanya kerangka berpikir saya saling berhubungan satu sama lain, membentuk suatu skema maupun hubungan-hubungan subconscious yang suatu saat bisa kapan saja diraih untuk dipakai dalam kegiatan-kegiatan tertentu.
Bagi saya, setiap detik adalah saat saya bekerja dan bermain. Ketika bermain, saya dengan sadar memasukkan informasi-informasi baru dan menghubung-hubungkannya dengan existing knowledge. Ini juga yang mencetuskan keputusan saya untuk memulai bidang baru di bidang screenwriting. Visual and aural information yang telah bermukim di dalam benak ini tinggal dibuatkan plot-plot kerangka saja sudah bisa menghasilkan satu kisah yang bisa dibuatkan dokumentasinya.
Idealnya, setiap orang membuat inventaris ketrampilan dan keahlian yang dimilikinya. Di era cyber dan robotik ini, setiap ketrampilan dan keahlian sangat menentukan masa depan seseorang. Sayangnya, kebanyakan orang sangat mengandalkan apa yang mereka dapatkan dari bangku sekolah sebagai satu-satunya yang “pantas” untuk membukakan pintu masa depan mereka.
Juga, sesungguhnya lebih make sense untuk mengambil jurusan dalam bidang yang sangat diminati dari lubuk hati terdalam, bukan karena “trend” di masyarakat maupun karena kedengarannya lulusan ini dan itu bisa menghasilkan lebih banyak uang. Gelar hukum saya dari Universitas Indonesia, misalnya, kebanyakan bersifat supplemental dalam membantu membangun empire business saya di bidang informasi, pendidikan dan baru-baru ini di bidang fesyen dan kosmetika. Namun, tidak pernah satu hari pun saya sesalkan, karena sangat membantu dalam menangani masalah-masalah legal yang saya hadapi sebagai entrepreneur.
Sebagai seorang penulis, penerbit dan edukator by profession, lantas mengapa saya branch out ke bidang fesyen dan kosmetika (juga penulisan film)? Alasannya mudah saja, karena ternyata ketrampilan dan keahlian saya tidak terbatas di bidang-bidang di atas. Hal-hal yang merupakan “hobi” di masa lampau, kalau dikembangkan secara profesional pun akan menghasilkan karya yang tidak tanggung-tanggung.
Ketika saya bekerja, saya bermain. Ketika saya bermain, saya bekerja. Kedua hal ini <>overlapping satu sama lain, yang kalau digali dengan sungguh-sungguh pasti menghasilkan buah melimpah.
Memang kerja keras sendiri sudah merupakan “sukses” bagi banyak orang, seperti salah satu pembaca artikel saya yang mengirimkan e-mailnya. Memang benar setiap kerja keras adalah benih sukses tidak terhingga. Namun alangkah indahnya jika setiap kali kita bermain, benih sukses juga tertanam?
Intinya hanya satu: be aware of what the world brings to you, so you can bring some of what you have inside to the world outside.
Salam sukses!
Komentar
Posting Komentar